Aksi Solidaritas Mahasiswa: Bantuan Sampai ke Pelosok Aceh Tamiang

 


bemstaipancabudinews.com ACEH TAMIANG - Lima hari menggalang dana, dua organisasi mahasiswa memastikan bantuan tak sekadar terkumpul, tapi tepat sasaran. Pengurus Cabang Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PC PMII) Pematangsiantar–Simalungun dan Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) STAI Panca Budi akhirnya menyalurkan donasi masyarakat untuk korban bencana di Kabupaten Aceh Tamiang (15/12/2025).

Bantuan berupa sembako, pakaian layak pakai, dan perlengkapan mandi itu diserahkan langsung ke tangan warga Desa Sampaimah, Kecamatan Manyak Payed, titik yang terdampak parah. Tidak berhenti di sana, tim bergerak ke Kota Kuala Simpang dan Posko Kuala Simpang untuk memastikan jangkauan bantuan lebih luas dan inklusif.



Di balik tumpukan barang bantuan, ada pesan keprihatinan yang tegas. “Kami turut prihatin atas bencana ini. Semoga bantuan ini tak cuma jadi simbol, tapi benar-benar meringankan beban,” ujar Erhan Sayu Ferdiansyah, Ketua PC PMII Pematangsiantar-Simalungun, dengan nada serius.

Sementara itu, Nia Ramadhani Damanik, Ketua BEM STAI Panca Budi, menegaskan bahwa gerakan ini adalah bukti nyata kepercayaan publik. “Ini amanah masyarakat. Setiap paket yang sampai adalah tanggung jawab moral kami,” tegasnya, sekaligus menyebut donasi tersebut sebagai “amal jariyah” yang terus mengalir.

Respons datang dari akar rumput. Datuk Pangulu Desa Sampaimah, Zul Akli, menyambut baik langkah strategis penyaluran ini. “Kami apresiasi. Tapi yang lebih penting, semoga ini bukan aksi sekali jalan. Solidaritas harus berdenyut terus, terutama saat musibah melanda,” katanya, menyentuh isu sustainabilitas gerakan sosial yang kerap absen pasca-tanggapan darurat.


Aksi ini bukan sekadar ritual filantropi. Di balik logistik dan serah-terima, kedua organisasi itu sedang membangun narasi baru: bahwa di tengah iklim kampus yang sering dikepung pragmatisme, masih ada ruang untuk tanggung jawab sosial yang konkret. Mereka menempatkan diri bukan sebagai penyelamat, melainkan sebagai jembatan solidaritas yang menghubungkan keprihatinan dengan aksi nyata.

Ini tentang komitmen yang dikonversi menjadi gerak. Tentang mahasiswa yang memilih turun ke lapangan, mengelola kepercayaan publik, dan memastikan bantuan tidak mandek di posko. Di Aceh Tamiang yang terluka, yang mereka bawa bukan hanya sembako—tapi juga pengingat: bahwa dalam setiap bencana, solidaritas masih punya wajah dan nama. DS

Posting Komentar

0 Komentar